Minggu, 13 November 2016

Apa penyebab banyak mantan petinju terlibat kriminal?

Reporter :Bardan.rajabi | Selasa, 2016 06:01
  •  
  •  
  •  
Apa penyebab banyak mantan petinju terlibat kriminal?
kegitan latihan tinju di monas. ©2013merdeka.com/m. bardan.rajabi

Merdeka.com - 
Kemarin Polda Metro Jaya menangkap pelaku perampokan dengan kekerasan di Perumahan BSD Parkland Provance Blok J. 1, Lengkong Gudang, Serpong, Jakarta Selatan. Satu dari tiga orang yang dibekuk terpaksa ditembak hingga tewas karena melawan. Belakangan terungkap, ternyata ketiganya anak buah Gordon Simanjuntak alias Juntak, mantan petinju amatir dari sasana RUCI di Rutan Cipinang.

Juntak kini masuk dalam daftar pencarian orang alias DPO polisi bersama kawannya, LC. Diduga keduanya terlibat serangkaian perampokan bersenjata api. Juntak dan LC juga disebut-sebut sebagai bos komplotan perampok berjuluk "Sumbu Kompor" yang beraksi di perumahan-perumahan mewah (cluster).

Riwayat Juntak sebagai petinju memang tidak moncer. Berbeda dengan nama beberapa petinju lain yang memiliki jalan hidup di dunia kriminal usai tak lagi berlaga di atas ring. Sebut saja nama, Ellyas Pical, Rachman Kili-kili Taliak dan Lontar Simanjuntak. Dua mantan petinju nasional itu sempat terlibat kasus kriminal, mulai terlibat narkoba hingga kejahatan memukul orang sampai mati.

Publik tentu masih ingat kasus Ellyas Pical pada 2005 silam. Dia dicokok polisi karena kasus narkoba. Pical ditangkap di sebuah diskotek karena tertangkap tangan sedang menawarkan ekstasi kepada petugas yang menyamar. Mantan juara dunia kelas bantam versi IBF ini ditangkap dalam sebuah operasi di Diskotek Milles di kawasan Lokasari, Tamansari, Jakarta Barat.

Setelah pensiun, Elly memang seperti depresi. Sedikit demi sedikit dia menyingkir dari ring tinju. Pical yang tidak tamat SD ini kemudian bekerja sebagai petugas keamanan (satpam) di sebuah diskotek di Jakarta, sebelum akhirnya tertangkap sedang transaksi narkoba itu.

Bagaimana dengan nasib Kili-kili? Sami mawon. Bahkan nasib mantan petinju yang tercatat pernah membela Indonesia di turnamen Pra-Olimpiade di Uzbekistan pada tahun 1995 dan Kejuaraan Dunia Tinju Amatir di Berlin pada 1994, itu lebih tragis ketimbang Ellyas Pical. Dia ditemukan meninggal tergantung pada kusen pintu rumah pamannya di Palembang pada 22 Februari 2007.

Cekikan masalah ekonomi karena jadi pengangguran setelah pensiun dari ring tinju, plus masalah ketergantungan narkoba yang ditengarai sejak 1997, diduga menjadi pemicu Kili-kili gantung diri. Selain itu, dia juga pernah ditangkap polisi karena menghajar tetangganya di Palembang dua tahun sebelum bunuh diri, dan memukul seorang polisi. Tragis.

Sedangkan Lontar Simanjuntak, mantan petinju nasional lainnya, juga memiliki nasib tak jauh beda. Dia sempat kesandung masalah hukum karena menganiaya seorang pengunjung Cafe Heroes, Kota Medan, Edwin alias Erwin hingga tewas pada Januari 2013. Petinju dari sasana Texmaco Jakarta itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menjalani proses hukum di Polsekta Medan Kota.

Lontar sempat berjaya dengan mengandalkan kepalan tangannya membawa nama Indonesia di kancah internasional. Setelah menggantung sarung tinju, dia sempat menjadi komentator. Namun entah penyebabnya apa, mendadak dia banting setir menjadi sopir taxi untuk mencukupi kebutuhannya.

Keterlibatan beberapa mantan petinju nasional dalam dunia kriminal tentu mengagetkan para pecinta tinju tanah air. Kenapa itu bisa terjadi? Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala, publik tidak bisa menganggap itu sebuah fenomena umum. Sebab, masih banyak petinju nasional lain yang normal, tidak terlibat kriminal.

"Saya mengajak semua pihak berhati-hati agar tidak memberi stigma negatif kepada petinju. Sebut saja oknum, mereka yang mungkin karena terpengaruh pergaulan di luar ring-nya, dekat dengan alkohol, atau dekat dengan kehidupan keras," kata dia kepada merdeka.com, Senin (22/7).

Dia melanjutkan, para petinju itu terjebak dalam kubangan dunia hitam, dan akhirnya menggunakan keahliannya untuk perbuatan salah. Adrianus mengakui, kasus petinju terlibat kriminal itu fenomena tidak umum, dan tidak bisa disebut sebagai gejala umum yang dialami para petinju.

"Saya belum bisa melihat ini sebagai gejala umum yang dialami petinju. Memang diakui juga, ada kalangan petinju, memilih tinju bukan karena niat, tapi lebih karena kedekatannya dengan budaya kekerasan. Jadi kalau niat bermain tinju bukan untuk bermain, tapi kesenangan saja."

Kendati demikian dia meminta para petinju mawas diri. Selama ini para petinju bermain karena kedekatan kehidupan sehari-hari. Mereka berangkat dari orang-orang bawah yang dekat dengan dunia kekerasan. Mereka juga biasa 'main otot' yang kemudian dibawa ke dunia tinju. Semakin lama dia bertambah mahir.

"Tapi kebiasaan tinju terus dibawa ke dunia nyata. Dia harus bisa membedakan dirinya di ring tinju dan di masyarakat. Umumnya para petinju ini memang tidak punya pendidikan tinggi, mereka cenderung emosional, mudah emosi. Tapi ini beberapa kasus saja, bukan fenomena," terangnya.

Lalu bagaimana dengan kondisi ekonomi mereka yang kabarnya menyedihkan, misalnya jadi satpam atau malah jadi pengangguran? Andrianus menjawab. "Saya rasa tidak seperti itu. Saya kira olahraga bukan dunia mencari duit. Duit itu karena belakangan. Kasus-kasus ini mungkin karena awalnya dunia mereka keras, kemudian beralih jadi petinju. Setelah keluar, balik lagi ke dunia semula."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar