Mirisnya mantan petinju Ellyas Pical, jadi satpam hingga office boy
Reporter : Muhamad Agil Aliansyah | Sabtu, 2 Mei 2015 15:32
Cara Irit Pererat Pertemanan dengan Jalan-JalanMerdeka.com - Demam pertandingan tinju jelang pertarungan antara Pacquaio Vs Weather rupanya bukan hanya dirasakan warga Las Vegas, Amerika Serikat, tempat pertandingan tersebut dilangsungkan. Pertandingan yang disiarkan secara langsung salah satu televisi swasta ini juga dipastikan bakal menyedot mata pecinta tinju warga Indonesia.
Namun bagi warga lokal pecinta tarung tinju pasti mengingat pertarungan dua petinju 30 tahun silam atau tepatnya 3 Mei 1985, yang digelar di Jakarta. Pertandingan yang mempertemukan petinju Indonesia Ellyas Pical dengan petinju asal Korea Chun Ju-do menjadi hiburan yang tak dilupakan dimasa itu.
Di saat itu, pertandingan yang memperebutkan Juara IBF Kelas Bantam Yunior dan disiarkan langsung oleh televisi nasional tersebut mampu menyodot perhatian masyarakat tanah air. Terlebih hasil pertandingan kala itu berbuah manis bagi Indonesia.
Petinju kelahiran Saparua, Ambon 24 Maret 1960 silam itu merebut gelar juara IBF Kelas Bantam Yunior atau kelas super terbang dari lawannya Chun Ju-do. Lewat kepalan tangan Ellyas Pical, tinju Indonesia mulai diperhitungkan dunia.
Sejak saat itulah karir Elly sapaan Ellyas Pical moncer. Tercatat sejak terjun dalam dunia tinju Elly sudah melakoni 26 pertandingan.
Rekor karir profesionalnya yaitu meraih 20 kemenangan dengan sebelas di antaranya di raihnya lewat kemenangan Knock Out (KO), sekali imbang dan lima kali kekalahan.
Tercatat beberapa pertandingan bergengsi yang dijalaninya seperti melawan petinju asal Australia Wayne Mulholland pada 25 Agustus 1985 silam. Saat ini Elly mampu mempertahankan gelar kelas super terbangnya.
Namun dalam pertandingan yang digelar di Jakarta, melawan petinju asal Republik Dominika, Cesar Polanco, Elly harus rela melepas sabuk juaranya. Petinju yang dijuluki 'The Exocet' karena memiliki pukulan hook dan uppercut kiri ini harus mengakui keunggulan Cesar Polanco, dengan kalah angka.
Kekalahan tersebut mencambuk Elly dan memacunya lebih giat berlatih dan kembali menantang Cesar Polanco dalam pertandingan kedua yang digelar di Jakarta, pada 5 Juli 1986. Elly membalas kekalahan sebelumnya dengan kemenangan KO atas Cesar Polanco.
Julukan 'The Exocet' merujuk nama rudal milik Prancis yang digunakan Inggris dalam perang Malvinas layak disematkan bagi Elly.
Pengagum Muhammad Ali ini, kembai mempertahankan sabuk juaranya usai mengalahkan petinju asal Korea Selatan, Dong-chun Lee. Namun dia harus menelah pil pahit usai diikalahkan dengan KO oleh petinju asal Thailand, Khaosai Galaxy dalam ronde 14 pada 1987 silam.
Akibat kekahalan tersebut sempat membuat Elly terpukul. Elly pun sempat 'Move on' pertandingan tersebut. Namun setelah beberapa bulan, Elly kembali bangkit dan mampu merebut kembali gelar IBF Kelas Bantam Yunior dari tangan sang juara bertahan Tae-ill Chang. Elly mampu menang KO melawan petinju asal Korea Selatan tersebut.
Usai merebut juara tersebut, pria yang sejak usai 13 tahun terjun dalam tinju ini mampu mempertahankannya selama dua tahun. Sayangnya dalam pertandingan yang digelar di Ronoake, Virginia, Amerika Serikat, 1989 melawan petinju asal Kolombia, Juan Polo Perez, Elly harus melepas gelarnya tersebut.
Sejak kekalahan itu, prestasinya dalam ring tinju menurun. Elly sempat melakoni pertandingan non-gelar tetapi namanya tak harum seperti dulu.
Namanya kembali mencuat ke publik pada 13 Juli 2005 silam. Bukan dalam ring tinju, nama Elly justru kembali mencuat lantaran harus berurusan dengan polisi.
Suami dari Rina Siahaya Pical dan ayah dari dua putra ini ditangkap polisi karena melakukan transaksi narkoba di sebuah diskotek di Jakarta Pusat. Diketahui sejak gantung sarung tinju, Elly menekuni beberapa profesi untuk menyambung hidup salah satunya sebagai petugas keamanan di diskotek di Jakarta Pusat, yang membawanya ke dalam sel tahanan.
Akibat perbuatannya Elly divonis 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Usai menghirup udara bebas, beberapa profesi pun dijalani Elly, termasuk menjadi asisten Agum Gumelar saat menjabat ketua KONI Pusat.
Belakangan setelah ganti kepengurusan KONI, beberapa pekerjaan dilakoni ayah dari Lorinly dan Matthew Pical ini. Salah satunya menjadi Office Boy di Kementerian Pendidikan dan Olahraga, yang dilakoninya hingga saat ini.
Jalan hidup Elly ini mengundang keprihatinan sejumlah pihak yang menilai tidak adanya jaminan hidup yang diberikan pemerintah kepada atlet yang telah mengharumkan nama bangsa di pentas dunia.
"Kalau gua melihat perhatian pemerintah masih sangat kurang terhadap mantan-mantan orang yang pernah mengibarkan merah putih di ajang internasional kalau dalam tinju contohnya Ellyas Pical ini," kata pengamat tinju Henki Silatang saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (2/4).
Henki menyesalkan sikap pemerintah tersebut. Dia berharap pemerintah saat ini lebih peduli terhadap nasib para atlet bukan hanya tinju yang telah memberikan mengharumkan nama Indonesia di luar negeri.
"Penghargaan pada olahragawan di Indonesia itu masih biasa. Paling tidak memberikan semacam yang namanya uang pensiun sebagai bentuk atas prestasi yang diberikan secara rutin. Kan banyak tuh perusahaan-perusahaan BUMN. Masa misalnya Rp 10 juta perbulan enggak bisa. Kan enggak banyak juga atlet kita juara dunia masa segitu aja pemerintah enggak mampu,"
Namun bagi warga lokal pecinta tarung tinju pasti mengingat pertarungan dua petinju 30 tahun silam atau tepatnya 3 Mei 1985, yang digelar di Jakarta. Pertandingan yang mempertemukan petinju Indonesia Ellyas Pical dengan petinju asal Korea Chun Ju-do menjadi hiburan yang tak dilupakan dimasa itu.
Di saat itu, pertandingan yang memperebutkan Juara IBF Kelas Bantam Yunior dan disiarkan langsung oleh televisi nasional tersebut mampu menyodot perhatian masyarakat tanah air. Terlebih hasil pertandingan kala itu berbuah manis bagi Indonesia.
Petinju kelahiran Saparua, Ambon 24 Maret 1960 silam itu merebut gelar juara IBF Kelas Bantam Yunior atau kelas super terbang dari lawannya Chun Ju-do. Lewat kepalan tangan Ellyas Pical, tinju Indonesia mulai diperhitungkan dunia.
Sejak saat itulah karir Elly sapaan Ellyas Pical moncer. Tercatat sejak terjun dalam dunia tinju Elly sudah melakoni 26 pertandingan.
Rekor karir profesionalnya yaitu meraih 20 kemenangan dengan sebelas di antaranya di raihnya lewat kemenangan Knock Out (KO), sekali imbang dan lima kali kekalahan.
Tercatat beberapa pertandingan bergengsi yang dijalaninya seperti melawan petinju asal Australia Wayne Mulholland pada 25 Agustus 1985 silam. Saat ini Elly mampu mempertahankan gelar kelas super terbangnya.
Namun dalam pertandingan yang digelar di Jakarta, melawan petinju asal Republik Dominika, Cesar Polanco, Elly harus rela melepas sabuk juaranya. Petinju yang dijuluki 'The Exocet' karena memiliki pukulan hook dan uppercut kiri ini harus mengakui keunggulan Cesar Polanco, dengan kalah angka.
Kekalahan tersebut mencambuk Elly dan memacunya lebih giat berlatih dan kembali menantang Cesar Polanco dalam pertandingan kedua yang digelar di Jakarta, pada 5 Juli 1986. Elly membalas kekalahan sebelumnya dengan kemenangan KO atas Cesar Polanco.
Julukan 'The Exocet' merujuk nama rudal milik Prancis yang digunakan Inggris dalam perang Malvinas layak disematkan bagi Elly.
Pengagum Muhammad Ali ini, kembai mempertahankan sabuk juaranya usai mengalahkan petinju asal Korea Selatan, Dong-chun Lee. Namun dia harus menelah pil pahit usai diikalahkan dengan KO oleh petinju asal Thailand, Khaosai Galaxy dalam ronde 14 pada 1987 silam.
Akibat kekahalan tersebut sempat membuat Elly terpukul. Elly pun sempat 'Move on' pertandingan tersebut. Namun setelah beberapa bulan, Elly kembali bangkit dan mampu merebut kembali gelar IBF Kelas Bantam Yunior dari tangan sang juara bertahan Tae-ill Chang. Elly mampu menang KO melawan petinju asal Korea Selatan tersebut.
Usai merebut juara tersebut, pria yang sejak usai 13 tahun terjun dalam tinju ini mampu mempertahankannya selama dua tahun. Sayangnya dalam pertandingan yang digelar di Ronoake, Virginia, Amerika Serikat, 1989 melawan petinju asal Kolombia, Juan Polo Perez, Elly harus melepas gelarnya tersebut.
Sejak kekalahan itu, prestasinya dalam ring tinju menurun. Elly sempat melakoni pertandingan non-gelar tetapi namanya tak harum seperti dulu.
Namanya kembali mencuat ke publik pada 13 Juli 2005 silam. Bukan dalam ring tinju, nama Elly justru kembali mencuat lantaran harus berurusan dengan polisi.
Suami dari Rina Siahaya Pical dan ayah dari dua putra ini ditangkap polisi karena melakukan transaksi narkoba di sebuah diskotek di Jakarta Pusat. Diketahui sejak gantung sarung tinju, Elly menekuni beberapa profesi untuk menyambung hidup salah satunya sebagai petugas keamanan di diskotek di Jakarta Pusat, yang membawanya ke dalam sel tahanan.
Akibat perbuatannya Elly divonis 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Usai menghirup udara bebas, beberapa profesi pun dijalani Elly, termasuk menjadi asisten Agum Gumelar saat menjabat ketua KONI Pusat.
Belakangan setelah ganti kepengurusan KONI, beberapa pekerjaan dilakoni ayah dari Lorinly dan Matthew Pical ini. Salah satunya menjadi Office Boy di Kementerian Pendidikan dan Olahraga, yang dilakoninya hingga saat ini.
Jalan hidup Elly ini mengundang keprihatinan sejumlah pihak yang menilai tidak adanya jaminan hidup yang diberikan pemerintah kepada atlet yang telah mengharumkan nama bangsa di pentas dunia.
"Kalau gua melihat perhatian pemerintah masih sangat kurang terhadap mantan-mantan orang yang pernah mengibarkan merah putih di ajang internasional kalau dalam tinju contohnya Ellyas Pical ini," kata pengamat tinju Henki Silatang saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (2/4).
Henki menyesalkan sikap pemerintah tersebut. Dia berharap pemerintah saat ini lebih peduli terhadap nasib para atlet bukan hanya tinju yang telah memberikan mengharumkan nama Indonesia di luar negeri.
"Penghargaan pada olahragawan di Indonesia itu masih biasa. Paling tidak memberikan semacam yang namanya uang pensiun sebagai bentuk atas prestasi yang diberikan secara rutin. Kan banyak tuh perusahaan-perusahaan BUMN. Masa misalnya Rp 10 juta perbulan enggak bisa. Kan enggak banyak juga atlet kita juara dunia masa segitu aja pemerintah enggak mampu,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar