Minggu, 13 November 2016

Sebelum 25 Februari 1964, tampaknya hampir segala yang dilakukan Cassius Clay sesuai dengan konteks membangun nilai-nilai kulit putih. Ia bukan kulit putih, tapi ia "yang terbaik setelah itu". Tinggi, ganteng, jenaka, menarik: seorang pemuda baik-baik yang punya ambisi kuat dalam hidupnya untuk menjadi orang kaya dan juara tinju kelas berat dunia. Beberapa orang menduga jika Clay melihat wajahnya sendiri di kaca ia akan bergumam "I'm so pretty," seperti syair permulaan sebuah lagu yang temanya adalah "hitam itu indah". Memang, pada awal Maret 1963, majalah Ebony menyatakan bahwa "Cassius Marcellus Clay adalah sebuah ledakan kebanggaan rasial. Dia adalah kebanggaan itu sendiri yang tak pernah mengenakan topeng kulit yang diputihkan dan rambut palsu. Kebanggaan yang hangus oleh kenangan berjuta anak-anak berwarna." 

Namun, Ebony adalah majalah orang kulit hitam dengan pembaca terbatas, dan pendapatnya segera tenggelam dari cakrawala Amerika. Bagi orang Amerika kulit putih, Clay bagaikan mainan yang agaknya bisa diapkir segera setelah nilai hiburannya memudar. Tapi kemudian persoalan mulai menjadi rumit. Suatu pagi, setelah kemenangannya melawan Sonny Liston, juara baru itu muncul di konperensi pers di pantai Miami.

Ya, ia gembira menjadi juara kelas berat. Tapi tidak, ia tidak terkejut muncul sebagai pemenang. Ia mencundangi Liston semata karena ia petinju yang lebih baik. Untuk pertama kali dalam sejarahnya sebagai petinju, suaranya melunak. "Saya akan berterus terang," katanya pada pendengarnya. "Yang harus saya lakukan adalah menjadi seorang lelaki baik yang bersih." Kemudian muncul pertanyaan ini: "Apakah Anda pemegang kartu anggota Black Muslims?" 

"Pemegang kartu? Apa maksudnya?" sahut Clay. "Saya percaya pada Allah dan perdamaian. Saya tidak mencoba melangkah masuk ke rumah tetangga yang kulit putih. Saya tidak ingin kawin dengan wanita kulit putih. Saya dibaptis ketika berumur 12 tahun, tapi saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saya bukan Kristen lagi. Saya tahu ke mana tujuan saya, dan saya tahu kebenaran, dan saya tidak harus menjadi seperti yang kalian inginkan. Saya bebas melakukan yang saya kehendaki." 

Pernyataan tegas itu sempat membuat orang bungkam. Tapi tampaknya pernyataan itu masih meragukan bagi sementara orang. Maka, pagi berikutnya, di pertemuan pers kedua, Clay berpidato, berusaha menghilangkan keraguan itu: "Sebutan Black Muslims itu datang dari pers. Itu bukan nama yang sah. Nama yang betul adalah Islam. Islam artinya damai. Islam adalah agama, dan 750 juta orang pemeluknya di seluruh dunia. Saya adalah salah satu di antara mereka. Saya bukan seorang Kristen. Saya tidak bisa menjadi Kristen, jika melihat semua orang kulit berwarna yang berjuang untuk menggalang persatuan akhirnya hancur lebur. 

Mereka dilempari batu dan digigiti anjing. Gereja mereka diledakkan, dan pelakunya tidak pernah ditemukan. Saya ditelepon setiap hari. Mereka menginginkan saya memberi isyarat. Mereka menginginkan saya masuk ke garis depan. Mereka mengatakan supaya saya mengawini perempuan kulit putih untuk menggalang persaudaraan. Saya tak mau dihancurkan. Saya tak mau hanyut dalam selokan kotor. 

Saya hanya ingin bahagia menurut cara saya sendiri. Orang mencap kami sebagai kelompok yang dibenci. Mereka mengatakan kami mau mengambil alih negeri. Mereka mengatakan kami komunis. Itu tidak betul. Pengikut-pengikut Allah adalah orang terbaik di dunia. Mereka tidak membawa-bawa pisau. Mereka tidak memikul senjata. Mereka salat lima kali sehari. Wanita-wanitanya berpakaian yang menutup sampai menyapu lantai dan mereka tidak berzinah. Yang mereka inginkan hanya hidup dalam damai."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar