Cerita dan Alasan Muhammad Ali Masuk Islam
SABTU, 04 JUNI 2016 | 13:58 WIB
Muhammad Ali saat bertemu dengan penggemarnya di Kinshasa, Zaire, Sept. 17, 1974. Ali dilarikan ke rumah sakit di Phoenix pada 2 Juni karena mengalami masalah pernapasan. AP
TEMPO.CO, Jakarta - Dicuplik dari liputan panjang majalah Tempo edisi 1 Agustus 1992.
"Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, ia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah. Ketika saya beralih agama, Tuhan ibuku tetap Tuhan saya hanya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak minum, merokok, dan mencampuri urusan orang, atau menggangu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia."
***
Sejak awal kariernya, Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali itu, dianggap oleh banyak orang sebagai "pemuda kulit berwarna yang baik". Dan bila kemudian ia dikenal sebagai si "mulut besar", Clay mempunyai alasannya sendiri. "Di mana saya akan berada minggu depan," katanya suatu ketika pada wartawan, "jika saya tidak tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada saya? Saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela atau tangga berjalan dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh -- yes sir, no sir. Tapi kini saya menjadi salah satu atlet dengan bayaran tertinggi di dunia. Pikirkan itu. Pemuda kulit berwarna dari Selatan menghasilkan satu juta dolar."
"Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, ia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah. Ketika saya beralih agama, Tuhan ibuku tetap Tuhan saya hanya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak minum, merokok, dan mencampuri urusan orang, atau menggangu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia."
***
Sejak awal kariernya, Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali itu, dianggap oleh banyak orang sebagai "pemuda kulit berwarna yang baik". Dan bila kemudian ia dikenal sebagai si "mulut besar", Clay mempunyai alasannya sendiri. "Di mana saya akan berada minggu depan," katanya suatu ketika pada wartawan, "jika saya tidak tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada saya? Saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela atau tangga berjalan dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh -- yes sir, no sir. Tapi kini saya menjadi salah satu atlet dengan bayaran tertinggi di dunia. Pikirkan itu. Pemuda kulit berwarna dari Selatan menghasilkan satu juta dolar."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar