Editor Says: Muhammad Ali dan Eksistensinya dalam Jiwa Pemuda
Bintang.com, Jakarta Kepergian Muhammad Ali menyisakan tangis dan kesedihan bagi para penggemarnya. Bukan hanya pecinta olahraga tinju, tapi para Generasi X yang hidup di sepanjang masa kejayaannya pun turut berduka. Meski mungkin tak pernah mengikuti pertandingannya, baik di TV ataupun secara langsung.
Saya yang lahir tahun 90-an memang tak begitu mengenal sosoknya. Memang, dulu kerap menonton pertandingan tinju di TV setiap hari Minggu siang, usai tayangan kartun yang maraton dari subuh hingga jam makan siang.
Saya yang lahir tahun 90-an memang tak begitu mengenal sosoknya. Memang, dulu kerap menonton pertandingan tinju di TV setiap hari Minggu siang, usai tayangan kartun yang maraton dari subuh hingga jam makan siang.
BACA JUGA
Tapi tetap saja saya tak mengenal Ali. Saya hanya mengenalnya lewat sebuah film dokumenter, yang membuat saya entah berapa lama terbengong-bengong dengan sosok The Greatest dalam layar kaca. Saya lantas kembali bertemu Ali lewat sebuah poster yang saya temukan di sebuah gudang rumah nenek saya dulu. Dulu masih belum kenal siapa Ali.
Tapi entah kenapa, ada magnet yang saat itu menarik perhatian saya pada sosok ber-boxerdengan sarung tinju itu. Matanya. Ali seperti memandang saya lekat-lekat. Pandangan matanya bukan seperti menakuti anak umur 10 tahun. Tapi seperti bertanya, “siapa kamu sebenarnya?” Di samping kanan sosoknya yang berdiri dengan pose khas seorang petinju, ada sebaris kata yang saat itu belum sanggup saya pahami. “Float like a butterfly, sting like a bee.”
Saya lantas tumbuh tanpa bayang-bayang pertandingan Ali. Namun, 14 tahun kemudian, ketika mendengar kabar kepergiannya, pandangan mata itu kembali muncul dalam benak. Pertanyaan yang sama kembali terngiang. “Siapa kamu sebenarnya?” Menjawab pertanyaan itu tidak mudah. Tidak untuk anak berumur 10 tahun. Tidak juga bagi perempuan berumur 24 tahun. Tergelitik oleh pertanyaan yang tak kunjung pergi selama 14 tahun itu, saya lantas mulai mencari tahu lebih banyak tentang Ali.
Ternyata, sosok Ali bukan hanya dikenal sebagai petinju hebat. Tapi juga sebagai sosok pejuang kesetaraan bagi orang-orang berkulit hitam di Amerika. Pikiran saya langsung terlempar pada kisah, di mana Ali sempat diusir dari sebuah restoran. Hanya lantaran dia berkulit gelap.
Ali lantas bertekad untuk menjadi bintang di dalam ring tinju. Salah satu tujuannya, menjadi juara dunia, sehingga suara yang dia keluarkan akan didengar banyak orang.
Menjadi legenda tinju dunia membuatnya banyak dikagumi orang. Termasuk saya, meski saat itu belum begitu mengenalnya. Bagaimana tidak, dia pemegang sabuk juara dunia kelas berat tinju tiga kali. Tiga kali! Dari 56 pertandingan, dia cuma kalah 5 kali. Dia menang melawan para jagoan tinju seperti Sonny Liston, George Foreman, dan Joe Frazier.
Merasakan energi kehebatan The Greatest, saya lantas jadi penasaran, apa yang membuatnya benar-benar menjadi bintang tinju. Saya tonton ulang videonya saat bertanding dalam ring. Saya bandingkan dengan cara lawannya bermain.
Tanpa terlalu peduli dengan siapa lawannya, saya menemukan satu perbedaan yang jelas dalam beberapa pertandingan itu. Ali bertarung dengan kedua tangan terjulur di kedua sisi tubuhnya. Bukankah seharusnya petinju selalu melindungi wajah dan kepala?
Tanpa terlalu peduli dengan siapa lawannya, saya menemukan satu perbedaan yang jelas dalam beberapa pertandingan itu. Ali bertarung dengan kedua tangan terjulur di kedua sisi tubuhnya. Bukankah seharusnya petinju selalu melindungi wajah dan kepala?
Editor Says: Muhammad Ali dan Eksistensinya dalam Jiwa Pemuda
Bintang.com, Jakarta Kepergian Muhammad Ali menyisakan tangis dan kesedihan bagi para penggemarnya. Bukan hanya pecinta olahraga tinju, tapi para Generasi X yang hidup di sepanjang masa kejayaannya pun turut berduka. Meski mungkin tak pernah mengikuti pertandingannya, baik di TV ataupun secara langsung.
Saya yang lahir tahun 90-an memang tak begitu mengenal sosoknya. Memang, dulu kerap menonton pertandingan tinju di TV setiap hari Minggu siang, usai tayangan kartun yang maraton dari subuh hingga jam makan siang.
Saya yang lahir tahun 90-an memang tak begitu mengenal sosoknya. Memang, dulu kerap menonton pertandingan tinju di TV setiap hari Minggu siang, usai tayangan kartun yang maraton dari subuh hingga jam makan siang.
BACA JUGA
Tapi tetap saja saya tak mengenal Ali. Saya hanya mengenalnya lewat sebuah film dokumenter, yang membuat saya entah berapa lama terbengong-bengong dengan sosok The Greatest dalam layar kaca. Saya lantas kembali bertemu Ali lewat sebuah poster yang saya temukan di sebuah gudang rumah nenek saya dulu. Dulu masih belum kenal siapa Ali.
Tapi entah kenapa, ada magnet yang saat itu menarik perhatian saya pada sosok ber-boxerdengan sarung tinju itu. Matanya. Ali seperti memandang saya lekat-lekat. Pandangan matanya bukan seperti menakuti anak umur 10 tahun. Tapi seperti bertanya, “siapa kamu sebenarnya?” Di samping kanan sosoknya yang berdiri dengan pose khas seorang petinju, ada sebaris kata yang saat itu belum sanggup saya pahami. “Float like a butterfly, sting like a bee.”
Saya lantas tumbuh tanpa bayang-bayang pertandingan Ali. Namun, 14 tahun kemudian, ketika mendengar kabar kepergiannya, pandangan mata itu kembali muncul dalam benak. Pertanyaan yang sama kembali terngiang. “Siapa kamu sebenarnya?” Menjawab pertanyaan itu tidak mudah. Tidak untuk anak berumur 10 tahun. Tidak juga bagi perempuan berumur 24 tahun. Tergelitik oleh pertanyaan yang tak kunjung pergi selama 14 tahun itu, saya lantas mulai mencari tahu lebih banyak tentang Ali.
Ternyata, sosok Ali bukan hanya dikenal sebagai petinju hebat. Tapi juga sebagai sosok pejuang kesetaraan bagi orang-orang berkulit hitam di Amerika. Pikiran saya langsung terlempar pada kisah, di mana Ali sempat diusir dari sebuah restoran. Hanya lantaran dia berkulit gelap.
Ali lantas bertekad untuk menjadi bintang di dalam ring tinju. Salah satu tujuannya, menjadi juara dunia, sehingga suara yang dia keluarkan akan didengar banyak orang.
Menjadi legenda tinju dunia membuatnya banyak dikagumi orang. Termasuk saya, meski saat itu belum begitu mengenalnya. Bagaimana tidak, dia pemegang sabuk juara dunia kelas berat tinju tiga kali. Tiga kali! Dari 56 pertandingan, dia cuma kalah 5 kali. Dia menang melawan para jagoan tinju seperti Sonny Liston, George Foreman, dan Joe Frazier.
Merasakan energi kehebatan The Greatest, saya lantas jadi penasaran, apa yang membuatnya benar-benar menjadi bintang tinju. Saya tonton ulang videonya saat bertanding dalam ring. Saya bandingkan dengan cara lawannya bermain.
Tanpa terlalu peduli dengan siapa lawannya, saya menemukan satu perbedaan yang jelas dalam beberapa pertandingan itu. Ali bertarung dengan kedua tangan terjulur di kedua sisi tubuhnya. Bukankah seharusnya petinju selalu melindungi wajah dan kepala?
Tanpa terlalu peduli dengan siapa lawannya, saya menemukan satu perbedaan yang jelas dalam beberapa pertandingan itu. Ali bertarung dengan kedua tangan terjulur di kedua sisi tubuhnya. Bukankah seharusnya petinju selalu melindungi wajah dan kepala?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar